Monday, June 13, 2016

Pukul Sapu Mamala, Budaya Dan Ritual Syawalan Unik Dari Maluku




Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala atau yang biasa disebut upacara ritual ukuwala mahiate dilaksanakan setiap tahun tepatnva pada tanggal 8 Syawal di negeri Mamala, setelah mereka melaksanakan puasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal. Upacara ritual ini dilatarbelakangi oleh adanya pembanguan Masjid di negeri Mamala. Oleh karena itu, keberadaan Masjid inilah yang melahirkan adanya Pukul Sapu Mamala / upacara ukuwala mahiate. Dalam pelaksanaan upacara ini terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni Mesjid, nyuwelain matehu (Minyak Mamala). dan Pukul Sapu / ukuwala mahiate  tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini.

Latar Belakang

Sekitar pertengahan abad ke- XVI negeri Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang  tokoh yakni:
1. Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan adat Negeri Mamala
2. Patti Tiang Bessy / Patti Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid)
3. Imam Tuny (Imam Mesjid)

Ketiga orang tersebut kemudian bermufakat mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa pengumpulan bahan-bahan bangunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala. Selanjutnya kayu diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Salah satu diantara kayu jatuh dari pikulan dan patah menjadi dua, kayu yang patah ini panjangnya 20 meter. Waktu itu kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran panjang dan harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh sambung. Hal ini yang membuat ketiga pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid diperlukan balok kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan hasil yang diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa kepada Allah Swt untuk memohon petunjuk-Nya. Keesokan harinya ilham yang diperolah Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy dan menampakkan kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk mempraktekannya dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni dengan utuhnya / tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut.

Mesjid Al Muhibbin pada tahun 1980

Berdasarkan hal tersebut, maka ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada manusiapun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh.

Acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala tahun 1980
 
Dari sinilah atas musyawarah bersama masyarakat negeri. Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M., digelarkan acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala / ukuwala mahiate yang pertama kali sebagai percobaan terhadap manusia dengan menggunakan ukuwala atau lidi aren yang dijadikan sebagai senjata dalam tarian adat ukuwala mahiate.

Pukul Sapu Mamala Sebagai Budaya Unik Maluku

Upacara ritual ukuwala mahiate/ pukul sapu yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi merupakan upacara adat negeri Mamala yang sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan. Kata ukuwala terambil dan bahasa negeri Mamala yang artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari ukuwala mahiate adalah baku pukul manyapu. 

Dalam tataran rana budaya lokal Islam di Ambon terjadi konfigurasi antar agama dan budaya yang melahirkan Upacara Ritual Ukuwala Mahiat (Acara Pukul Sapu), Sebagai sebuah kearifan lokal (local wisdom) dari masyarakat negeri Mamala terutama para pemimpinnya yakni Imam Tuny, Latu Liu, dan Patty Tiang Bessy (Patty Tembessy). Peranan Imam Tuny sebagai seorang tokoh agama dan ulama yang menyelesaikan persoalan kehidupan sosial keagamaan dengan jalan mistisisme Islam. Dan dengan kesabaran dan kekuatan spritualitasnya, ia dapat membuka tabir antara makhluk dan Sang Khalik untuk memohon dan berdoa kepada-Nya. Sebuah pengalaman keagamaan ( religious experience) oleh Imam Tuny menghadirkan nilai-nilai Ketuhanan (teosentris) dalam mewarnai Upacara Ritual Ukuwala Mahiate (Acara Pukul Sapu). Dengan demikian, maka nilai-nilai ketuhanan (teosentris) dapat dibumikan dalam budaya-budaya Islam (antroposentris). Kehidupan masyarakat Islam sudah terintegrasi dengan kultural lokal dan praktek keagamaan yang masih ditemukan di dunia Islam hingga kini. Kehidupan keagamaan ini juga ditemukan di daerah-daerah Islam di Timur Tengah dan daerah-daerah Islam di Indonesia.

Menurut Koentjaraningrat, religi memang merupakan bagian dari kebudayaan (menghindari istilah agama dan memakai istilah religi yang lebih netral) dan juga ada yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi. Koentjaraningrat sepaham dengan Emile Durkeim mengenai dasar-dasar religi yang dituangkan dalam bukunya Les Formes Elementaires De la Vie Religieu se (1912). Menurut Koentjaraningrat, tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: 1.   Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia itu bersikap religius. 2.  Sistem keyakinan, yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib (supernatural) serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan. 3.  Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. 4.  Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut dan melaksanakan sistem ritus dan upacara.

Goody mendefinisikan ritual sebagai suatu katagori adat perilaku yang dibakukan, dimana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak bersifat intrinsik, dengan kata lain, sifatnya entah irasional atau nonrasional. Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu : 1. Tindakan Magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistik,  2. Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini, 3.    Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara kehidupan menjadi ikhlas,  4.   Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi kelompok.

Dari teori Goody di atas, maka Acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala / ukuwala mahiate dapat dikatagorikan pada jenis ritual; tindakan magi, tindakan religius, dan ritual konstitutif. Pada ritual tindakan magi digunakan bahan-bahan di antaranya yakni sapu lidi (ukuwala) dan minyak Mamala / minyak kelapa (nyuwalai). Pada ritual tindakan religius, upacara ini dihubungkan dengan ibadah puasa Ramadhan dan puasa Syawal, dan masjid dijadikan sebagai sesuatu yang melahirkan ritual ini, serta kultus-kultus leluhur yang disajikan dalam proses ritual ukuwala mahiate. Pada tataran ritual konstitutif ini, ditemukan hal-hal yang gaib, ketika Imam Tuny bermunajah dan berdo'a kepada Allah Swt untuk mendapat pertolongan untuk menyambung tiang masjid yang patah atau retak tersebut. Maka dengan kebesaran Allah Swt lewat minyak Mamala / nyuwelai matehu / minyak tasalah dengan kekuatan mistiknya maka kayu tersebut tersambung kembali.


Pentas Pukul Sapu / Pukul Manyapu Mamala di Festival Keraton dan Masyarakat Adat ASEAN di Lombok tahun 2015


Kebudayaan Pukul Sapu / Pukul Manyapu Mamala (Ukuwala Mahiat) telah terkenal luas di Indonesia bahkan di dunia Internasional. Dalam upacara ukuwala mahiat / pukul sapu terdapat makna-makna kearifan budaya lokal yang terlahir dari interpretasi konteks sejarah keagamaan yang dialami oleh komunitas masyarakat negeri Mamala untuk dipentaskan dalam sebuah tradisi adat yang sangat kuat yang diwariskan dari budaya leluhur mereka dan diteruskan untuk generasi berikutnya sampai sekarang Masyarakat negeri Mamala di Kecamatan Leihitu (pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah mempunyai budaya atau ritual adat berupa upacara ritual ukuwala mahiate. Upacara ritual ini dilaksanakan setiap tahun sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Upacara ritual ini lebih dikenal oleh masyarakat kota Ambon dengan Pukul Sapu / Pukul Manyapu Mamala.